Minggu, 16 September 2012

DIBALIK KACA JENDELA


by. ilham firdaus



Kakiku masih menyelam di dalam kejernihan air. Sesekali sepasang kaki itu bergerak mengayunkan air dibawahnya. Riak-riak kecil menjauh bersama tiupan angin pelan.sebagian gelombang itu mendekati batu yang kini kududuki. Ahh… dasar, riak-riak tak berarti. Riak kecil yang bahkan mampu dibangkitkan hanya oleh hembusan angin kecil yang terkadang tak mampu unuk menghembuskan dedaunan kuning diranting yang rapuh.
            Saat ini, entah kenapa gelombang itu memberikan suara ke selaput dengarku. Semilir angin yang terkadang sejuk, kini membuat romaku berdiri bersama air mata yang masih membentuk bulir-bulir kesedihannya.
            Aku menatap danau kali ini dengan pasti, terasa berbeda. Danau yang biasa tempat ku bercerita kali ini terasa sangat luas, seiring sempitnya kurasakan dunia setelah kukehilangan sosok Ibu untuk selamanya sejak tadi pagi. Sekarang aku sendiri merasakan keheningan yang entah kapan kan berubah menjadi sebuah keramaian akan senyuman. Menatap pucat bayangan sinar senja dari langit. Pandanganku beralih menatap langit. Sore ini, entah kenapa, awan-awan melingkar melukiskan akan sosok Ibu. Aku menatap pasti wajahnya. Dimatanya kini juga ada air mata. Sangat ingin kali ini aku tuk usapkan jemariku untuk mengusap air matanya. Tapi sayang, sekarang Ibu terlalu jauh. Aku saja tak mampu tuk mengusapkan telunjukku tuk mnghilangkan air mataku. Aku memang lemah. Aku lemah, bu.
            Aku tetap menatapnya. Matanya menatapku dengan penuh kasih sayang. Diwjahnya tergambar urat senyum diantara tangisnya menatapku. ‘Ibu….’ Panggilku pelan diantara isakan yang akan menghabiskan sisa-sisa cahaya kuning senja ini.
***
Malam ini aku berdiri dihadapan cermin yang tergantung di dinding rumahku. Aku menatap pasti bayanganku yang berdiri diantara ruang hampa tanpa ada sepasang nyawa lagi. Disana ada sikecil lemah, sendiri. Berdiri seorang diri ditengah malam tanpa ada suara Ibu yang biasa mampu menjaga dan membelaiku. Saat ini rasanya aku tak mampu untuk mengharapkan itu pada ayah. Hingga saat sekarang ia masih belum pulang. Padahal dulu ayah berjanji akan pulang sejak dua hari yang lalu. Tapi sekarang, hingga aku tinggal seorang diri tuk menunggunya ia pun masih tak kunjung pulang.
Aku beranjak kearah jendela, dari balik kaca jendela itu, aku melihat kea rah luar. Dunia luar terlalu gelap. Aku masih tetap tak beranjak, menatap kebalik jendela, berharap Ibukan kembali, atau mendengar ketukan pintu, karena ayahkan pulang. Aku menunggu hingga semua menjadi semakin gelap. Tak ada suara langkah kaki, dan tak juga ada ketukan pintu. Hanya bunyi detik jarum jam yang berputar berulang kali. Sepi.
***
Aku terbangun, masih pada tempat yang sama. Sebuah rapor merah kecil masih digenggamanku. Rapor ini selalu bersamaku semenjak dua hari yang lalu. Didalamnya terdapat sebuah foto dengan dasi merah. Sedang dihalaman terakhir, tercetak sebuah angka satu pada keterangannya. Aku juga menjadi juara umum pada saat kali ini.
Sekarang aku sudah tak sabar tuk bertemu Ibu atau menunggu ayah pulang untuk memperlihatkan pada mereka. Walaupun aku tahu Ibu telah tidak bersamaku lagi semenjak tiga entah empat hari lalu. Tapi aku yakin, Ibu pasti kan kembali untuk melihat angka-angka Sembilan berjejer diraporku, dan ayah pasti akan membelikan aku sepeda sesuai janjinya, karena aku tlah berhasil tuk memperoleh juara umum di sekolah. Aku janji, akan segera memperlihatkannya pada mereka saat mereka kembali.
Kembali kumenatap kearah jendela, tatapanku menatap apa yang telah dilukiskan tuhan hari ini. Langit tampak sedikit gelap, sesedikit air hujan jatuh dan membasahi kaca jendela yang kutatap. Butiran itu membentuk jari-jari memanjang. Udara basah masuk melalui ventilasi. Aku kembali ketempat duduk, dan mencoba berbaring. Udara terlalu sejuk mengantarkanku tuk kembali terlelap.
***
Aku kembali terbangun saat layar jendelaku memberikan kegelapan. Aku menatap kebalik jendela itu, semua kembali gelap. Aku mencoba bangkit. Terdengar suara langkah kaki yang biasa terdengar dari dalam dapur. Suara langkah kaki yang selalu terdengar saat Ibu berada di dapur, tuk menyiapkan makanan. Sesekali terdengar suaranya yang khas. Aku segera bangkit, dan beranjak sambil  membuka lembaran dimana terdapat nilai-nilai baruku. Dengan semangat aku mendekati dan memanggilnya.
“bu, lihat.!!!” Aku terdiam saat ku melihat tak ada seorangpun yang tengah berdiri di dapur. Namun, kukembali kudengar suaranya dari dalam kamar. Aku berlari menuju kamar. Ibu tetap tak ada. Aku kembali berlari melihat ke setiap sudut rumah. Namun  ibu tetap tak ada. Aku kembali ke ruangan semula. Aku tetap tak menemukan ibu. Kutatap dunia luar dari balik kaca jendela. Dunia luar masih kelam. Perlahan terdengar bunyi langkah kaki pria dewasa. Ya, persisi saat seperti ayah berjalan. Aku terdiam menunggu langkah kai itu semakin mendekat. Akhirnya langkah kai itu semakin jelas. Ku coba tuk menatap kebalik jendela, semua masih terlihat gelap. Tak satu sosokpun ada disana. Suara langkah kaki itu semakin jelas terdengar, aku masih tetap berdiri terdiam meunggu. Suara kaki itu semakin terdengar jelas dan terasa dekat, namun tetap tak kunjung ada suara ketukan pintu yang terdengar.
Sebuah rapor merah kecil masih digenggamanku. Aku menengadah menatap kearah langit langit rumah. Wajah ibu dilangit-langit itu, wajah itu tersenyum padaku. kualihkan pandangan kebalik kaca jendela, ada ayah yang menatapku sambil tersenyum. Senyuman mereka sama. Namun, tiba-tiba wajah ayah menghilang dari balik jendela itu. Suara langkah kaki itu kembali berbunyi. Kutatap langit-langit, wajah ibu masih tetap melayang diatas sana. Senyumannya masih sama. Terdengar suara langkah kaki itu semakin jelas, namun dari pintu tetap tak terdengar ketukan. Kembali kutatap senyuman wajah ibu. Semua masih ada. Dari balik jendela masih terlihat kegelapan yang entah kapan akan datang segelintir cahaya yang akan meneranginya. Semua terasa berputar seakan tak berhenti, hingga semua menjadi benar-benar gelap, tak bersuara.
End.


0 komentar:

Posting Komentar