by. ilham firdaus
Kakiku masih menyelam
di dalam kejernihan air. Sesekali sepasang kaki itu bergerak mengayunkan air
dibawahnya. Riak-riak kecil menjauh bersama tiupan angin pelan.sebagian
gelombang itu mendekati batu yang kini kududuki. Ahh… dasar, riak-riak tak
berarti. Riak kecil yang bahkan mampu dibangkitkan hanya oleh hembusan angin
kecil yang terkadang tak mampu unuk menghembuskan dedaunan kuning diranting
yang rapuh.
Saat ini, entah kenapa gelombang itu memberikan suara ke
selaput dengarku. Semilir angin yang terkadang sejuk, kini membuat romaku
berdiri bersama air mata yang masih membentuk bulir-bulir kesedihannya.
Aku menatap danau kali ini dengan pasti, terasa berbeda.
Danau yang biasa tempat ku bercerita kali ini terasa sangat luas, seiring
sempitnya kurasakan dunia setelah kukehilangan sosok Ibu untuk selamanya sejak
tadi pagi. Sekarang aku sendiri merasakan keheningan yang entah kapan kan
berubah menjadi sebuah keramaian akan senyuman. Menatap pucat bayangan sinar
senja dari langit. Pandanganku beralih menatap langit. Sore ini, entah kenapa,
awan-awan melingkar melukiskan akan sosok Ibu. Aku menatap pasti wajahnya.
Dimatanya kini juga ada air mata. Sangat ingin kali ini aku tuk usapkan
jemariku untuk mengusap air matanya. Tapi sayang, sekarang Ibu terlalu jauh.
Aku saja tak mampu tuk mengusapkan telunjukku tuk mnghilangkan air mataku. Aku
memang lemah. Aku lemah, bu.
Aku tetap menatapnya. Matanya menatapku dengan penuh
kasih sayang. Diwjahnya tergambar urat senyum diantara tangisnya menatapku. ‘Ibu….’
Panggilku pelan diantara isakan yang akan menghabiskan sisa-sisa cahaya kuning
senja ini.
***
Malam
ini aku berdiri dihadapan cermin yang tergantung di dinding rumahku. Aku
menatap pasti bayanganku yang berdiri diantara ruang hampa tanpa ada sepasang
nyawa lagi. Disana ada sikecil lemah, sendiri. Berdiri seorang diri ditengah
malam tanpa ada suara Ibu yang biasa mampu menjaga dan membelaiku. Saat ini
rasanya aku tak mampu untuk mengharapkan itu pada ayah. Hingga saat sekarang ia
masih belum pulang. Padahal dulu ayah berjanji akan pulang sejak dua hari yang
lalu. Tapi sekarang, hingga aku tinggal seorang diri tuk menunggunya ia pun
masih tak kunjung pulang.
Aku
beranjak kearah jendela, dari balik kaca jendela itu, aku melihat kea rah luar.
Dunia luar terlalu gelap. Aku masih tetap tak beranjak, menatap kebalik
jendela, berharap Ibukan kembali, atau mendengar ketukan pintu, karena ayahkan
pulang. Aku menunggu hingga semua menjadi semakin gelap. Tak ada suara langkah
kaki, dan tak juga ada ketukan pintu. Hanya bunyi detik jarum jam yang berputar
berulang kali. Sepi.
***
Aku
terbangun, masih pada tempat yang sama. Sebuah rapor merah kecil masih
digenggamanku. Rapor ini selalu bersamaku semenjak dua hari yang lalu.
Didalamnya terdapat sebuah foto dengan dasi merah. Sedang dihalaman terakhir,
tercetak sebuah angka satu pada keterangannya. Aku juga menjadi juara umum pada
saat kali ini.
Sekarang
aku sudah tak sabar tuk bertemu Ibu atau menunggu ayah pulang untuk memperlihatkan
pada mereka. Walaupun aku tahu Ibu telah tidak bersamaku lagi semenjak tiga
entah empat hari lalu. Tapi aku yakin, Ibu pasti kan kembali untuk melihat
angka-angka Sembilan berjejer diraporku, dan ayah pasti akan membelikan aku
sepeda sesuai janjinya, karena aku tlah berhasil tuk memperoleh juara umum di
sekolah. Aku janji, akan segera memperlihatkannya pada mereka saat mereka
kembali.
Kembali
kumenatap kearah jendela, tatapanku menatap apa yang telah dilukiskan tuhan
hari ini. Langit tampak sedikit gelap, sesedikit air hujan jatuh dan membasahi
kaca jendela yang kutatap. Butiran itu membentuk jari-jari memanjang. Udara
basah masuk melalui ventilasi. Aku kembali ketempat duduk, dan mencoba
berbaring. Udara terlalu sejuk mengantarkanku tuk kembali terlelap.
***
Aku
kembali terbangun saat layar jendelaku memberikan kegelapan. Aku menatap
kebalik jendela itu, semua kembali gelap. Aku mencoba bangkit. Terdengar suara
langkah kaki yang biasa terdengar dari dalam dapur. Suara langkah kaki yang
selalu terdengar saat Ibu berada di dapur, tuk menyiapkan makanan. Sesekali
terdengar suaranya yang khas. Aku segera bangkit, dan beranjak sambil membuka lembaran dimana terdapat nilai-nilai
baruku. Dengan semangat aku mendekati dan memanggilnya.
“bu,
lihat.!!!” Aku terdiam saat ku melihat tak ada seorangpun yang tengah berdiri
di dapur. Namun, kukembali kudengar suaranya dari dalam kamar. Aku berlari
menuju kamar. Ibu tetap tak ada. Aku kembali berlari melihat ke setiap sudut
rumah. Namun ibu tetap tak ada. Aku kembali
ke ruangan semula. Aku tetap tak menemukan ibu. Kutatap dunia luar dari balik
kaca jendela. Dunia luar masih kelam. Perlahan terdengar bunyi langkah kaki
pria dewasa. Ya, persisi saat seperti ayah berjalan. Aku terdiam menunggu
langkah kai itu semakin mendekat. Akhirnya langkah kai itu semakin jelas. Ku
coba tuk menatap kebalik jendela, semua masih terlihat gelap. Tak satu sosokpun
ada disana. Suara langkah kaki itu semakin jelas terdengar, aku masih tetap
berdiri terdiam meunggu. Suara kaki itu semakin terdengar jelas dan terasa
dekat, namun tetap tak kunjung ada suara ketukan pintu yang terdengar.
Sebuah
rapor merah kecil masih digenggamanku. Aku menengadah menatap kearah langit
langit rumah. Wajah ibu dilangit-langit itu, wajah itu tersenyum padaku. kualihkan
pandangan kebalik kaca jendela, ada ayah yang menatapku sambil tersenyum.
Senyuman mereka sama. Namun, tiba-tiba wajah ayah menghilang dari balik jendela
itu. Suara langkah kaki itu kembali berbunyi. Kutatap langit-langit, wajah ibu
masih tetap melayang diatas sana. Senyumannya masih sama. Terdengar suara
langkah kaki itu semakin jelas, namun dari pintu tetap tak terdengar ketukan.
Kembali kutatap senyuman wajah ibu. Semua masih ada. Dari balik jendela masih
terlihat kegelapan yang entah kapan akan datang segelintir cahaya yang akan
meneranginya. Semua terasa berputar seakan tak berhenti, hingga semua menjadi
benar-benar gelap, tak bersuara.
End.